Tulisan

Senin, 05 Oktober 2015

Menanamkan Karakter Penuh Cinta kepada Anak


Dalam benak Anda mungkin terucap ini, “apa pentingnya karakter penuh cinta?”
Menurut saya penting.
Nilai-nilai cinta dan kasih sayang dalam diri seorang manusia akan membentuk sikap peduli, simpati, dan empati yang penting dalam sebuah hubungan sosial. Maka bagi saya hal ini menjadi penting, terutama bagi anak-anak. Mereka dapat tumbuh dengan kecerdasan emosional. Bukankah itu juga penting selain kecerdasan intelektual?
Baiklah.
Siapa pun kita, yang sudah menjadi orang tua atau belum, pasti sudah tau cara apa yang ampuh dalam menanamkan nilai-nilai kepada seorang anak bukan? Yap, menyontohkan.
Dalam tulisan ini, saya bukan mau menggurui. Saya hanya ingin berbagi pengalaman sebagai seorang kakak, belum sebagai seorang ibu.
Siapa pun posisi kita dalam sebuah keluarga, sebagai ayah, ibu, kakak, tante, om, pakde, bude, akan menjadi panutan bagi anak-anak yang masih dalam proses perkembangan.
Keluarga inti kami memiliki seorang anak yang masih tumbuh dan berkembang, tapi sedikit sekali nilai-nilai cinta yang ditanamkan. Ayah dan ibu saya memang bukan orang yang romantis. Mereka juga bukan orang tua yang kolot, hanya saja dalam membentuk karakter anak-anaknya saya merasa lebih di titik beratkan kepada nilai-nilai etika dan kesantunan dalam bersikap, berperilaku, dan berbicara.
Jarang sekali saya melihat ayah dan ibu mengucapakan kalimat atau sikap menyayangi satu sama lain di hadapan kami sebagai anaknya. Tidak ada kalimat “sayang”, tidak ada “pelukan” atau “kecupan kening” setiap pagi sebelum kami beraktivitas, hanya cium tangan biasa. Bahkan bertukar kado pun hanya memberikan biasa tanpa ada kalimat sebagai ungkapan yang menggambarkan kasih sayang dari pemberian kado tersebut. Mmmm… saya memaklumi. Mungkin mereka merasa malu dan tidak patut melakukan hal tersebut dihadapan anak-anaknya terutama saya yang beranjak dewasa. Saya tidak bisa memaksa beliau.
Akhirnya saya ambil alih. Saya yang memulai memberikan pelukan, panggilan sayang, selalu menggunakan “maaf” jika salah atau setelah marah, “tolong” saat meminta bantuan, dan “terimakasih” saat diberikan sesuatu atau ditolong, dan berusaha untuk tetap lembut saat memarahi adik saya. Semua yang saya lakukan membuahkan hasil, adik saya melakukan hal yang sama kepada ayah, ibu, dan saya tapi hanya bertahan beberapa bulan. Setelah itu, adik saya selalu mengatakan hal ini:
“nanti saya jadi manja” dan menolak saat saya mau memeluknya.
“iih saya bukan anak kecil” saat saya memanggilnya dengan panggilan“sayang”.
“halaaah” saat saya mengucapkan maaf, tolong, terimakasih, dan memarahinnya dengan lembut.
Ternyata saya kalah, satu banding dua (ayah dan ibu).
Beberapa hari lalu, adik saya minta menginap di rumah sepupu kami yang telah berkeluarga dan memiliki dua orang anak laki-laki yang masih berusia 9 tahun dan 5 tahun. Mereka adalah keluarga dekat kami. Saya sangat mengenal mereka, bagaimana, dan nilai-nilai apa yang diterapkan mereka kepada anak-anaknya. Saya sarankan kepada ayah dan ibu agar adik saya menginap sendiri di sana, cukup diantar. Biarkan dia belajar di sana dengan melihat bagaimana mereka mendidik anak-anaknya. Biarkan dia menyontoh.
Akhirnya menginaplah dia selama 2 hari 1 malam.
Pada hari ke-2, saya menjemputnya. Dia minta dijemput menggunakan kereta, minta pergi ke stasiun bogor hanya untuk makan soto bogor, dan minta naik kereta turun di stasiun jakarta kota. Lebih tepatnya dia memaksa bukan meminta. Itu sudah biasa, saya memahaminya. Tapi ada satu hal yang membuat saya W-O-W selama perjalanan. Seperti kita tau, anak-anak mudah sekali meniru bukan?
Adik saya meniru satu hal dari sana, nilai cinta dan kepedulian.
Saat kami berjalan menuju stasiun, saya berhenti di sebuah warung untuk membeli minum. Adik saya membuka kulkas mengambil susu kotak dan tiba-tiba menawarkan “kamu mau beli apa?” dan mengambilkannya untuk saya, meskipun saya juga yang membayarnya. (catatan: sejak usia 5 tahun dia tidak mau memanggil saya dengan sebutan “kakak”, dan sering menggunakan kata ganti “saya” dan “kamu”).
Saat kami ke stasiun bogor dan makan di sebuah warung soto, saya meminta pertolongannya untuk mengambilkan minum dan dia mau melakukannya, sebelumnya dia sulit diminta pertolongan.
Dan terakhir, saat kami sudah sampai rumah, dia melakukan hal yang membuat saya lebih W-O-W. Adik saya menemui ibu yang sudah tidur, sekilas sambil lewat saya melihat dia naik ke tempat tidur, merangkul ibu saya dan dari kejauhan saya mendengar ini, “Mama, Mama, aku minta maaf. Aku sayang Mama. Mama, aku minta maaf ya. Mama, aku sayang Mama. Aku sayang Mama, Ma”.
Ini membuat saya melting lebih dari apa pun.
Daaan…
Sadarkah kita akan suatu hal? Betapa pentingnya kita sebagai orang dewasa menjadi contoh bagi anggota keluarga yang masih tergolong anak-anak yang tumbuh dan berkembang.

Hai ayah dan ibu…
Hai kakak-kakak…
Hai om dan tante…
Hai pakde dan bude…
Kita pernah menjadi seorang anak bukan? Bukankah sangat nyaman ketika kita dipeluk dan diperlakukan dengan penuh cinta oleh keluarga?
Tidak ada yang salah dalam menunjukkan cinta
Jangan pernah malu menjadi orang dewasa yang penuh cinta

Tunjukkanlah dan berikanlah cinta kepada mereka, adik-adik kecil kita yang sedang tumbuh dan berkembang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar