Dalam benak Anda mungkin terucap ini,
“apa pentingnya karakter penuh cinta?”
Menurut saya penting.
Nilai-nilai cinta dan kasih sayang
dalam diri seorang manusia akan membentuk sikap peduli, simpati, dan empati
yang penting dalam sebuah hubungan sosial. Maka bagi saya hal ini menjadi
penting, terutama bagi anak-anak. Mereka dapat tumbuh dengan kecerdasan
emosional. Bukankah itu juga penting selain kecerdasan intelektual?
Baiklah.
Siapa pun kita, yang sudah menjadi
orang tua atau belum, pasti sudah tau cara apa yang ampuh dalam menanamkan
nilai-nilai kepada seorang anak bukan? Yap, menyontohkan.
Dalam tulisan ini, saya bukan mau
menggurui. Saya hanya ingin berbagi pengalaman sebagai seorang kakak, belum
sebagai seorang ibu.
Siapa pun posisi kita dalam sebuah
keluarga, sebagai ayah, ibu, kakak, tante, om, pakde, bude, akan menjadi
panutan bagi anak-anak yang masih dalam proses perkembangan.
Keluarga inti kami memiliki seorang
anak yang masih tumbuh dan berkembang, tapi sedikit sekali nilai-nilai cinta yang
ditanamkan. Ayah dan ibu saya memang bukan orang yang romantis. Mereka juga
bukan orang tua yang kolot, hanya saja dalam membentuk karakter anak-anaknya
saya merasa lebih di titik beratkan kepada nilai-nilai etika dan kesantunan
dalam bersikap, berperilaku, dan berbicara.
Jarang sekali saya melihat ayah dan
ibu mengucapakan kalimat atau sikap menyayangi satu sama lain di hadapan kami
sebagai anaknya. Tidak ada kalimat “sayang”, tidak ada “pelukan” atau “kecupan
kening” setiap pagi sebelum kami beraktivitas, hanya cium tangan biasa. Bahkan
bertukar kado pun hanya memberikan biasa tanpa ada kalimat sebagai ungkapan
yang menggambarkan kasih sayang dari pemberian kado tersebut. Mmmm… saya
memaklumi. Mungkin mereka merasa malu dan tidak patut melakukan hal tersebut
dihadapan anak-anaknya terutama saya yang beranjak dewasa. Saya tidak bisa
memaksa beliau.
Akhirnya saya ambil alih. Saya yang
memulai memberikan pelukan, panggilan sayang, selalu menggunakan “maaf” jika
salah atau setelah marah, “tolong” saat meminta bantuan, dan “terimakasih” saat
diberikan sesuatu atau ditolong, dan berusaha untuk tetap lembut saat memarahi
adik saya. Semua yang saya lakukan membuahkan hasil, adik saya melakukan hal
yang sama kepada ayah, ibu, dan saya tapi hanya bertahan beberapa bulan.
Setelah itu, adik saya selalu mengatakan hal ini:
“nanti saya jadi manja” dan menolak
saat saya mau memeluknya.
“iih saya bukan anak kecil” saat saya
memanggilnya dengan panggilan“sayang”.
“halaaah” saat saya mengucapkan maaf, tolong,
terimakasih, dan memarahinnya dengan lembut.
Ternyata saya kalah, satu banding dua
(ayah dan ibu).
Beberapa hari lalu, adik saya minta
menginap di rumah sepupu kami yang telah berkeluarga dan memiliki dua orang
anak laki-laki yang masih berusia 9 tahun dan 5 tahun. Mereka adalah keluarga
dekat kami. Saya sangat mengenal mereka, bagaimana, dan nilai-nilai apa yang
diterapkan mereka kepada anak-anaknya. Saya sarankan kepada ayah dan ibu agar
adik saya menginap sendiri di sana, cukup diantar. Biarkan dia belajar di sana
dengan melihat bagaimana mereka mendidik anak-anaknya. Biarkan dia menyontoh.
Akhirnya menginaplah dia selama 2 hari
1 malam.
Pada hari ke-2, saya menjemputnya. Dia
minta dijemput menggunakan kereta, minta pergi ke stasiun bogor hanya untuk
makan soto bogor, dan minta naik kereta turun di stasiun jakarta kota. Lebih
tepatnya dia memaksa bukan meminta. Itu sudah biasa, saya memahaminya. Tapi ada
satu hal yang membuat saya W-O-W selama perjalanan. Seperti kita tau, anak-anak
mudah sekali meniru bukan?
Adik saya meniru satu hal dari sana, nilai
cinta dan kepedulian.
Saat kami berjalan menuju stasiun,
saya berhenti di sebuah warung untuk membeli minum. Adik saya membuka kulkas
mengambil susu kotak dan tiba-tiba menawarkan “kamu mau beli apa?” dan
mengambilkannya untuk saya, meskipun saya juga yang membayarnya. (catatan:
sejak usia 5 tahun dia tidak mau memanggil saya dengan sebutan “kakak”, dan
sering menggunakan kata ganti “saya” dan “kamu”).
Saat kami ke stasiun bogor dan makan di
sebuah warung soto, saya meminta pertolongannya untuk mengambilkan minum dan
dia mau melakukannya, sebelumnya dia sulit diminta pertolongan.
Dan terakhir, saat kami sudah sampai
rumah, dia melakukan hal yang membuat saya lebih W-O-W. Adik saya menemui ibu
yang sudah tidur, sekilas sambil lewat saya melihat dia naik ke tempat tidur,
merangkul ibu saya dan dari kejauhan saya mendengar ini, “Mama, Mama, aku minta
maaf. Aku sayang Mama. Mama, aku minta maaf ya. Mama, aku sayang Mama. Aku
sayang Mama, Ma”.
Ini membuat saya melting lebih dari
apa pun.
Daaan…
Sadarkah kita akan suatu hal? Betapa
pentingnya kita sebagai orang dewasa menjadi contoh bagi anggota keluarga yang
masih tergolong anak-anak yang tumbuh dan berkembang.
Hai ayah dan ibu…
Hai kakak-kakak…
Hai om dan tante…
Hai pakde dan bude…
Kita pernah menjadi seorang anak
bukan? Bukankah sangat nyaman ketika kita dipeluk dan diperlakukan dengan penuh
cinta oleh keluarga?
Tidak ada yang salah dalam menunjukkan
cinta
Jangan pernah malu menjadi orang
dewasa yang penuh cinta
Tunjukkanlah dan berikanlah cinta
kepada mereka, adik-adik kecil kita yang sedang tumbuh dan berkembang